DUTA BALI. Ogoh-ogoh merupakan salah satu tradisi Umat Hindu khususnya di Bali dalam menyambut Hari Raya Nyepi. Tradisi mengarak ogoh-ogoh di Bali biasa disebut dengan “pengerupukan”. Pengerupukan biasanya dilakukan tepat sehari sebelum Hari Raya Nyepi.
Sejarah asal muasal dari ogoh-ogoh khususnya
di Bali ada beberapa
versi yang berbeda. Ada yang mengatakan ogoh-ogoh dikenal sejak jaman
Dalem Balingkang dimana pada saat itu ogoh-ogoh dipakai pada saat upacara pitra
yadnya. Ada pula yang berpendapat bahwa ogoh-ogoh tersebut terinspirasi
dari tradisi Ngusaba Ndong-Nding di desa Selat Karangasem. Informasi lain
menyebutkan bahwa ogoh-ogoh muncul sekitar tahun 70-an.
Apapun pendapat tentang sejarah asal muasal
ogoh-ogoh di Bali, dewasa ini meski Jaman semakin berkembang, teknologi semakin
maju tapi ogoh-ogoh juga semakin dikenal bahkan menjadi salah satu tradisi yang
ditunggu-tunggu oleh warga Bali bahkan wisatawan lokal ataupun mancanegara.
Ogoh-ogoh adalah tradisi yang akan
terus ada dari masa ke masa, karena merupakan sebuah seni dan kreatifitas tanpa
batas oleh anak muda warga Bali.
contohnya di Kabupaten Jembrana, Sehari
menjelang “Hari raya Nyepi” disebut hari “Pengerupukan” jatuhnya pada
hari panglong 15 bertepatan dengan hari Tilem (bulan mati) sasih kesanga. Pada
hari itu masyarakat Hindu di Bali melaksanakan upacara butha yadnya
penetralisir kekuatan kekuatan yang bersifat keburukan seperti dengan melakukan
pecaruan “ Tawur kesanga” (dalam sekala
Dalam rangkaian upacara tersebut, pada sandi
kawon (sore menjelang malam hari) dilanjutkan dengan acara “Magegobog” atau di
Jembrana biasanya disebut Mebuwu-buwu yaitu mengelilingi pekarangan rumah
sambil membawa api perakpak(daun kelapa kering),obor,bunyi-bunyian,
menyemburkan mesui dan memercikkan tirta, sebagai symbol nyomio (menetralisir)
kekuatan kekuatan yang bersifat keburukan/ kejahatan.
Setelah kegiatan magegobog tersebut dilaksanakan,
kemudian dilanjutkan keluar pekarangan membawa prangkat tadi menuju
jalan utama di Desa atau di Kota maning-masing, untuk kemudian bergabung dengan
tetangga yang tadinya melakukan hal yang sama, saat tersebut tanpa di komando
pada umumnya anak anak muda melanjutkan acara magegobog tersebut dengan cara
berjalan menyusuri jalan utama, akan terbentuk menyerupai pawai obor, hal
tersebut dilakukan setiap hari pengerupukan petang hingga malam sehingga
menjadi semacam hiburan/tontotan
Pada tahun 1981 (sehari menjelang tahun caka
1903) penulis sempat menyaksikan acara kelanjuatan megegobog yang sangat
menarik perhatian. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda desa
Batu Agung yang rata-rata suka melucu saat itu adalah : Di tengah tengah
ramainya pawai obor dijalan raya Batu Agung menuju Kota Negara, kelompok pemuda
tadi mengusung keranda (Pepaga/media pengusung jenazah ke kuburan) dengan
menggunakan bangku panjang anak murid Sekolah Dasar diselimuti kain putih
sedemikian rupa sehingga menyerupai keranda dengan jenazahnya yang
seperti akan diantar menuju ke kuburan, diiringi oleh pemuda pemuda lucu melantunkan
kidung pengantar orang mati, ada juga yang berpura pura menangisi kematian
orang yang diantar kekuburan tersebut dan banyak lagi kelakuan kelakuan lucu
pemuda tersebut. Hal tersebut mendapat perhatian dan sangat menghibur
masyarakat yang
Dengan menyaksikan peristiwa tersebut penulis
yang berasal dari Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jemrana
terinspirasi untuk membuat sesuatu yang bermakna dan ada keterkaitannya dengan
upacara mebuwu-buwu/magegobog. Dari benak penulis tercetuslah ide untuk membuat
semacam patung ringan yang menyerupai wujud Butha kala bermuka
menyeramkan sebagi symbol keburukan yang akan disomio/dinetralisir setelah
diarak keliling atau menyusuri jalan utama pada hari pengerupukan.
Ide tersebut penulis coba realisasikan pada
tahun 1982 (hari pengerupukan menjelang tahun caka 1904) pada pagi
harinya penulis minta tolong kepada sdr Ketut Wirata, seorang seniman
dari Desa Yehembang juga, untuk membuatkan sejenis Topeng/Tapel raksasa
terbuat dari blongkak/kulit kelapa.
Dibantu oleh pemuda pemuda lain yang sering
ngumpul dirumah penulis saat itu, dipandu oleh sdr Ketut Wirata dibautlah
patung ringan seperti yang diinginkan penulis, krangka badan, tangan dan kaki
dibuat dari bambu, dibungkus dengan untaian somi/ merang padi (somi=somio)
diselimuti dengan kain putih dan loreng sedemikian rupa sehingga terbentuk
wujud yang menggambarkan butha kala.
(Sumber: Sejarah ogoh ogoh bali)
0 $type={blogger}:
Posting Komentar